Rabu, 03 September 2008

Antara Akta Otentik dan Akta Dibawah Tangan

Akta Otentik dan Akta Dibawah Tangan
Berbicara mengenai akta otentik dan akta di bawah tangan, sebenarnya kita berbicara perihal surat sebagai salah satu alat bukti tertulis yang pada umumnya dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu surat yang merupakan akta dan surat biasa.
Akta adalah surat yang diberi tanda-tangan yang memuat peristiwa yang menjadi dasar dari suatu, hak atau perikatan yang dibuat sejak semula yang disengaja untuk pembuktian. Akta sendiri dibedakan menjadi dua yaitu, Akta Otentik dan Akta Bawah Tangan . Penjelasan mengenai pengertian dari akta otentik dan akta dibawah tangan adalah sebagai berikut :
Akta otentik adalah akta yang harus dibuat berdasarkan peraturan perundangan serta ditanda-tangani oleh notaris atau pejabat yang berwenang. Pengertian dari akta otentik ini dapat diketahui dari beberapa perundang-undangan sebagai berikut :
1. Pasal 101 ayat a Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, menyatakan bahwa akta otentik adalah yaitu surat yang dibuat oleh atau di hadapan seorang pejabat umum, yang menurut peraturan perundang-undangan berwenang membuat surat itu dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya;
2. Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, menyatakan bahwa Suatu akta otentik adalah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu dan tempat akta itu dibuat
3. Pasal 165 HIR (Het herziene Indonesisch reglement), menyatakan bahwa Akta Otentik adalah suatu akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu, merupakan bukti yang lengkap antara para pihak dan ahli warisnya dan mereka yang mendapatkan hak daripadanya tentang yang tercantum di dalamnya dan bahkan tentang yang tercantum di dalamnya sebagai pemberitahuan belaka; akan tetapi yang terakhir ini hanyalah sepanjang yang diberitahukan itu erat hubungannya dengan pokok dari pada akta;

Sedangkan akta dibawah tangan adalah akta yang dibuat serta ditanda tangani oleh para pihak yang bersepakat dalam perikatan atau antara para pihak yang berkepentingan saja. Pengertian dari akta di bawah tangan ini dapat diketahui dari beberapa perundang-undangan sebagai berikut :
1. Pasal 101 ayat b Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, menyatakan bahwa akta di bawah tangan, yaitu surat yang dibuat dan ditandatangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya
2. Pasal 1874 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, menyatakan bahwa yang dianggap sebagai tulisan di bawah tangan adalah akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat, daftar, surat urusan rumah tangga dan tulisan-tulisan yang lain yang dibuat tanpa perantaraan seorang pejabat umum.
Kekuatan Pembuktian
Berdasarkan pengertian dari akta otentik dan akta di bawah tangan sebagaimana tersebut di atas, kita dapat melihat persamaan bahwa keduanya dapat dipergunakan sebagai alat bukti, namun kekuatan pembuktiannya-lah yang berbeda.
Akta Otentik mempunyai tiga macam kekuatan pembuktian (Retnowulan & Oeripkartawinata,1979:49), yakni :
a. Kekuatan pembuktian formil. Membuktikan antara para pihak bahwa mereka sudah menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut.
b. Kekuatan pembuktian materil. Membuktikan antara para pihak, bahwa benar-benar peristiwa yang tersebut dalam akta itu telah terjadi.
c. Kekuatan mengikat. Membuktikan antara para pihak dan pihak ketiga, bahwa pada tanggal tersebut dalam akta yang bersangkutan telah datang menghadap kepada pegawai umum tadi dan menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut. Oleh karena menyangkut pihak ketiga, maka disebutkan bahwa kata otentik mempunyai kekuatan pembutian keluar.
Sedangkan untuk akta di bawah tangan kekuatan pembuktiannya akan sangat tergantung pada kebenaran atas pengakuan atau penyangkalan para pihak atas isi dari akta dan masing-masing tanda tangannya. Apabila suatu akta di bawah tangan diakui isi dan tandatangannya oleh masing masing pihak maka kekuatan pembuktiannya hampir sama dengan akta otentik; bedanya terletak pada kekuatan pembuktian keluar, yang tidak secara otomatis dimiliki oleh akta di bawah tangan. Akta di bawah tangan ini seperti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1880 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak akan dapat mempunyai kekuatan pembuktian keluar terhadap pihak ketiga terkecuali sejak hari dibubuhi pernyataan oleh seorang Notaris atau seorang pejabat lain yang ditunjuk oleh undang-undang dan dibukukan menurut aturan undang-undang atau sejak hari meninggalnya si penanda tangan atau salah seorang penanda tangan; atau sejak hari dibuktikannya adanya akta di bawah tangan itu dari akta-akta yang dibuat oleh pejabat umum; atau sejak hari diakuinya akta di bawah tangan itu secara tertulis oleh pihak ketiga yang dihadapai akta itu.

PERJANJIAN dan SUBYEK HUKUM

PERJANJIAN

Di dalam dunia bisnis baik bidang perdagangan, industri maupun jasa sudah dipastikan pelaku bisnis tersebut satu sama lain saling berhubungan dan mereka sudah biasa terlibat dalam pembuatan Kontrak/ Perjanjian ,dari kontrak sederhana yang dibuat oleh langsung oleh pelaku bisnis sampai kontrak yang melibatkan orang profesional .Tetapi akhir-akhir ini kita sering mengetahui Melalui media massa baik cetak maupun elektronik terlihat ada peningkatan kasus antara pihak-pihak yang terlibat dalam suatu kontrak disebabkan adanya perbedaan penafsiran dalam suatu kontrak atau perjanjian. Hal ini terjadi bisa juga disebabkan ada pihak yang akan melakukan suatu kontrak atau perjanjian kurang menguasai tata cara pembuatan kontrak atau perjanjian yang baik sehingga kontrak tersebut menjadi tidak sempurna.
Kekurang sempurnaan dalam pembuatan kontrak tersebut bisa terjadi karena pada saat pra kontrak atau masih dalam tahap negoisasi para pihak menyepelekan segi pemahaman gramatikal bahasa ataupun segi teknis yang akan diperjanjikan atau bisa juga isi dari kontraknya tidak mendetil, sehingga hal-hal yang muncul ditengah perjalanan dan tidak dimuat didalam kontrak yang mengakibatkan pihak yang satu merasa dibohongi oleh pihak yang lainnya karena tidak memenuhi kewajibannya sebaliknya pihak yang dituduh merasa kewajibannya sudah dipenuhi tetapi haknya tidak diberikan oleh pihak yang menuduhnya akhirnya diantara mereka saling memberi somasi maupun saling menggugat, hubungan yang tadinya harmonis malah menjadi rusak karena perbedaan penafsiran didalam isi (Klausul) kontrak tersebut.

Sebelum Pembuatan kontrak/ perjanjian dibuat sebaiknya ada negoisasi yang berimbang untuk seluruh pihak yang akan terlibat didalam kontrak/perjanjian itu dan untuk para negoisator atau juru runding haruslah orang berpengalaman atau menguasai bidangnya tentang apa yang akan dibuat kontrak atau yang diperjanjikan .
contohnya investor yang akan menginvestasikan modalnya pada proyek Pembangunan Apartemen maka untuk pengamanan investasinya sebaiknya mempunyai tim tenaga ahli (arsitek,teknik sipil,akuntan konsultan hukum) demikian pula sebaliknya pihak yang akan mengerjakan proyekpun harus mempunyai tim tenaga ahli dibidangnya baik pada saat negoisasi dilakukan sampai proyeknya selesai. Dalam dunia jasa hiburan juga sering terjadi perkara gugatan akibat perbedaan penafsiran mengenai kontrak yang dibuatnya .
Setelah tercapai persesuain pendapat pada saat perundingan diantara para negoisator maka bila pihak-pihak tersebut diwakili oleh tim ahli maka kewajiban para wakil tersebut untuk mensosialisasikan hasil negoisasinya kepada pihak yang mengutusnya .Setelah masing-masing pihak mengerti atas masukan yang didapat dari hasil Negoisasi dan setuju maka dimulailah pada tahap Pembuatan Kontrak .
Untuk membuat kontrak atau perjanjian ada Ketentuan mengenai Sahnya suatu perjanjian yakni terdapat didalam Kitab undang-Undang Hukum Perdata pasal 1320 yang berbunyi “Untuk sahnya suatu perjanjian harus memenuhi empat syarat :

(1) Kesepakatan dari mereka yang mengikatkan dirinya;
- Sepakat atau adanya persetujuan para pihak pihak yang akan terikat didalam perjanjian dalam hal ini tidak ada unsur pemaksaan maupun penipuan.
(2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
Cakap ini artinya sudah dapat melakukan perbuatan hukum sendiri seperti ; dewasa yaitu berusia diatas 18 (delapan belas) tahun ,tidak menderita ganguan jiwa, tidak dibawah pengampuan ataupun dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga sehingga tidak dapat bertindak sendiri didalam hukum kekayaan ,dalam pasal 108 dan 110 Kitab undang-undang Hukum Perdata yang membahas bahwa seorang wanita bersuami dianggap tidak cakap hukum sehingga dia tidak boleh menghadap dimuka hakim tanpa bantuan suaminya pasal tersebut dapat diartikan bahwa seorang istri tidak bebas dapat melakukan sendiri perjanjian dengan pihak lain tanpa melalui suaminya tetapi pasal ini tidak berlaku sejak keluarnya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3 Tahun 1963 dan dikuatkan dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dalam pasal 79 ayat (2) berbunyi “Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat dan ayat (3) Berbunyi “masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum”.

(3) Suatu hal tertentu;
- adanya hal yang diperjanjikan,dalam hal ini harus jelas dan mendetil apa saja yang diperjanjikan oleh para pihak yang terlibat dalam perjanjian.

(4) Suatu sebab yang halal.
- Perjanjian yang dibuat oleh para pihak tidak melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku karena akibatnya apabila perjanjian tersebut dibuat maka perjanjian tersebut batal karena hukum.



Subyek Hukum
Pengertian orang menurut hukum dibagi 2 (dua), Orang sebagai manusia dan yang disamakan kedudukannya sebagai orang yaitu badan hukum (Artificial Person ) .
Pihak-pihak yang terlibat dalam pembuatan kontrak harus jelas jangan sampai bukan orang yang berwenang dapat membuat perjanjian ,apabila pihak-pihak yang akan mengadakan kontrak tersebut adalah perorangan maka masing-masing pihak harus menunjukan identitas diri (Kartu tanda penduduk) hal ini untuk memberikan kepastian bahwa pihak yang akan mengadakan kontrak tersebut memang benar-benar akan menjadi pihak,sebaiknya masing-masing pihak menelusuri kebenaran identitas yang akan menjadi pihak didalam kontrak tersebut ,apakah nama, usia, pekerjaan maupun domisili sesuai dengan yang tertera didalam kartu identitas diri yang dikeluarkan oleh pihak yang berwenang.
Pihak yang terlibat didalam kontrak adalah badan hukum maka para pihak harus menunjukan/ membawa akte pendirian yang sudah disahkan oleh menteri kehakiman dan surat-surat lainnya sebagai pendukung dari operasional badan hukum tersebut.Badan hukum tersebut adalah Perseroan Terbatas,Yayasan dan Koperasi.

Hukum perjanjian di indonesia menganut sistem terbuka yang memberikan kebebasan sedemikian rupa sesuai dengan ketentuan Kitab undang-Undang Hukum Perdata pasal 1338 ayat (1) berbunyi “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Pasal ini memberi landasan bahwa setiap orang bebas melakukan perjanjian yang mana isi dari perjanjian tersebut tidak melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam Pembuatan Kontrak yang dibuat dengan memakai bahasa Indonesia sebaiknya memakai bahasa Indonesia yang baik dan benar, pemakaian tata bahasa maupun kata harus sesuai dengan ketentuan EYD (Ejaan Yang Disempurnakan ) karena jangan sampai isi/ klausul yang dibuat menimbulkan dualisme pengertian sehingga menjadikan peluang adanya konflik diantara pihak-pihak yang terlibat didalam kontrak tersebut .
Kontrak yang dibuat sebaiknya sedetil mungkin dan penggunaan tata bahasa yang baik sehingga mudah dimengerti sehingga peluang-peluang perbedaan interprestasi/konflik dapat diminimalkan.
Pembuatan suatu kontrak atau perjanjian ada klausul yang mengatur kemungkinan didalam perjalanan selama kontrak tersebut belum berakhir ada kejadian yang tidak dikehendaki atau perbedaan pendapat mengenai isi kontrak atau perjanjian bilamana itu terjadi akan diselesaikan melalui pengadilan konvensional atau melalui sistem Arbitrase yaitu para pihak membawa perkaranya kepada pihak ketiga yang netral atau disebut Arbitrator. Arbitrator ini mempunyai wewenang dalam memberikan putusan yang final dan mengikat yang kedudukannya sama dengan putusan dari hakim pengadilan konvensional atau para pihak memilih Pengadilan Negeri dimana Kontrak atau perjanjian tersebut dibuat.
Yang terbaik untuk pihak-pihak yang terlibat didalam kontrak apabila terjadi suatu perbedaan pendapat maka jalan utama adalah musyawarah diantara para pihak karena kemungkinan hal yang dipersoalkannya hanya berbeda penafsiran dari pasal per pasal bukan suatu yang signifikan yang mengakibatkan perjanjian tersebut tidak sah atau batal demi hukum.Sebenarnya apabila ada hal yang kurang ataupun berlebihan bisa dirubah dengan dibuatkan addendum atau perubahan pasal demi pasal yang mengacu pada kontrak atau perjanjian.Adendum ini dibuat setelah ada persetujuan para pihak yang terlibat kontrak tersebut Musyawarah yang dilakukan para pihak untuk mencapai jalan keluar (win win solution) masing-masing pihak tidak ada yang merasa paling benar maupun merasa paling dirugikan adalah jalan yang terbaik, cepat, murah dan persoalan diantara para pihak tidak ter-ekspos keluar sehingga nama baik masing-masing pihak tetap terjaga.


Penulis : Soni Wasita SH. Sp 1